konsep dalam Islam mengenai perbedaan agar kiranya kita dapat memahami dan memaknai kehidupan yang berbeda-beda ini.
Pertama ;
1. Ruh al-ta’addudiyyah yaitu upaya memahami orang lain. Keragaman manusia bukanlah petaka. Maka keragaman Indonesia merupakan potensi. Untuk mengoptimalkan potensi tersebut perlu kesadaran rakyat negeri ini untuk saling mengenal dan memahami orang lain di sekitarnya, “Sesungguhnya Allah menciptakan kalian terdiri dari laki-laki dan perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal.” QS. Al-Hujurat: 13
2. Ruh al-wathaniyya, upaya mengembangkan dan melestarikan tradisi. Sudah menjadi kemakluman bersama bahwa luasnya Indonesia dengan berbagai pulau secara geografis juga menjelaskan bahwa negeri ini kaya akan tradisi. Menghormati budaya sendiri dan melestarikannya merupakan upaya menanamkan sikap kebangsaan yang kuat terhadap diri sendiri. Sehingga tercipta suatu identitas individu/komunitas yang dapat melahirkan karakter sebuah bangsa.
3. Ruh al-insaniyyah, yaitu upaya menjaga komitmen kemanusiaan dalam berbangsa dan bernegara. Yaitu k omitmen menjaga esensi kemanusiaan dalam berbangsa dan negara di tengah realitas kemajemukan. Maka kita perlu menyadari bahwa seseorang tidak mungkin dapat melangkah sendirian tanpa orang lain. Semua kelompok masyarakat mempunyai hak dan kewajiban yang sama di mata hukum. Komitmen berbangsa dan bernegara berarti komitmen untuk tidak melakukan penindasan, diskriminasi, serta aksi kejahatan lainnya terhadap kelompok anak bangsa sendiri, hingga bangsa dan negara lain.
4. Ruh al-tadayyun (Memahami ideologi lain) upaya menanamkan kesadaran pada diri sendiri bahwa setiap manusia mempunyai ideologi yang tidak harus sama dengan ideologi kita. Di tengah keragaman ideologi, yang paling ideal adalah memahami substansi ideologi sebagai sebuah ajaran yang mencita-citakan kedamaian. Yaitu ideologi ahlussunnah wal Jama’ah.
Empat langkah di atas merupakan tahapan upaya kita menjalin hidup ditengah masyarakat ini biar lebih islami. Sehingga pada tahap ideal akan terbentuk sebuah tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang sesuai dengan hakikat kemanusiaan. Maka perjuangan yang meletakkan ‘nilai-nilai’ di atas sebagai dasar perjuangan, akan melahirkan sebuah iklim yang ideal, yaitu terciptanya sebuah bangsa yang menempatkan hakikat kemanusiaan di atas segala-galanya.
Senin, 03 Juni 2013
Minggu, 02 Juni 2013
Macam - Macam Puasa
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah,
segala puji hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala atas segala nikmatyang telah
diberikan-Nya kepada kita semua termasuk terselesaikannya makalah Hukum Islam
ini. Makalah ini mengambil tema Puasa, sebagaimana amanat yang diberikan kepada
kami di dalam memenuhi tugas mata kuliah Agama Islam.
Sebuah
penghargaan bagi kami atas diberikannya tugas ini, karena dengan begitu
kitaakan dapat mengkaji kembali tentang hal-hal yang berkaitan dengan Puasa yang
pasti akan bermanfaat menambah keilmuan dan pengetahuan akademis kita serta
modal dalam beribadahkepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dalam
kesempatan ini perkenankan kami menghaturkan rasa terima kasih kepada semua
orang yang terlibat dalam penyusunan makalah ini. Pun begitu, kami menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu sumbang-saran maupun
masukan sangat kami harapkan. Atas segala kekurangan tersebut, kami mohon
dibukakan pintu maaf seluas-luasnya.
Demikian
dari kami, semoga segala tujuan baik dengan hadirnya makalah ini dapat tercapai.
Amiin.
Bekasi, April 2013
Penyusun
A.Pengertian, Rukun puasa, Hukum dan
Fardhunya Puasa
1. Definisi
Puasa menurut bahasa adalah menahan. Sedangkan menurut
istilah / syari’at adalah menahan dengan niat ibadah dari makanan, minuman,
hubungan suami istri dan semua hal yang membatalkan puasa sejak terbit fajar
sampai terbenam matahari.
2. Rukun Puasa
Rukun adalah sesuatu
yang harus dikerjakan atau dipenuhi dalam suatu ibadah yang berhubungan erat
dengan keabsahan dari ibadah yang sedang dikerjakan. Sedangkan rukun
puasa adalah sebagai berikut:
·
Berniat untuk mengerjakan puasa; niat ini harus
dilakukan setiap hari atau setiap akan mengerjakan puasa pada malamnya. Hal ini
berdasarkan sebuah hadits, bahwa Rasulullah Saw telah bersabda:
“Barangsiapa
yang tidak berniat puasa pada malamnya sebelum terbit fajar, maka tiada puasa
baginya.” (HR Lima ahli hadits)
Dari Aisyah
r.a., ia berkata, “Pada suatu hari Rasulullah Saw. datang (ke rumah saya).
Beliau bertanya, ‘Adakah makanan padamu?’ Saya menjawab, ‘Tidak ada apa-apa.’
Beliau lalu berkata, ‘Kalau begitu baiklah, sekarang aku berpuasa.’ Kemudian
pada hari yang lain beliau datang pula. Lalu, kami berkata, ‘Ya Rasulullah,
kita telah diberi hadiah kue Haisun.’ Beliau berkata, ‘Mana kue itu? Sebenarnya
aku dari pagi berpuasa.’ Lantas beliau makan kue itu.” (HR Jamaah, kecuali
Bukhari)
Menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari.
Menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari.
3.
Hukum Puasa
Ditinjau dari hukumnya puasa menurut
syariah Islam terbagi menjadi (a) puasa wajib; (b) puasa sunnah; (c) puasa
makruh; (d) puasa haram; (e) puasa mubah.
Puasa wajib adalah puasa yang dilaksanakan pada bulan ramadhan. Yang
merupakan salah satu dari rukun islam dan salah satu fardhu dari sekian banyak
fardhu. Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
Artinya
: “Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu, agar kamu bertakwa. (QS Al-Baqarah, 183)
Hal ini juga dijelaskan oleh hadist berikut, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
Dari Ibnu Umar Radhiyallaahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda: “ Islam di tegakan diatas lima perkara, bersaksi
bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, Mendirikan
Shalat, mengeluarkan zakat, mengerjakan haji ke Baitullah dan berpuasa di bulan
Ramadhan.” (HR Bukhari-Muslim)
Tidak semua perbuatan berpuasa itu baik. Dalam Islam, bahkan ada hari-hari
tertentu atau bagi orang tertentu di mana puasa itu hukumnya haram. Seperti
haramnya berpuasa bagi wanita yang sedang haid.
I.A. PUASA WAJIB
1. Yaitu puasa pada bulan Ramadhan. Hukumnya wajib bagi semua orang muslim yang sudah baligh, tidak gila, tidak haid dan tidak nifas (habis melahirkan).
Puasa Ramadan adalah salah satu rukun Islam yang lima. Pertama turunnya wahyu yang mewajibkan puasa Ramadan adalah pada tanggal 10 Sya'ban tahun kedua hijrah. Nabi berpuasa Ramadan selama 9 kali dalam 9 tahun.
Karena puasa Ramadan merupakan salah satu kewajiban utama, maka seorang muslim yang menganggapnya tidak wajib hukumnya murtad dan kafir. Kecuali kalau dia bertaubat. Sedang bagi yang tidak berpuasa karena malas, dianggap fasik. Bukan kafir.
2. Puasa karena membayar kafarah (denda). Seperti puasa 3 hari setelah melanggar sumpah atas nama Allah.
3. Puasa nadzar. Orang yang bernadzar akan berpuasa apabila tujuannya tercapai, maka ia wajib berpuasa apabila yang diinginkannya terkabul.
I.B. PUASA SUNNAH
Yaitu puasa yang dilakukan untuk beribadah kepada Allah selain puasa wajib. Puasa sunnah disebut juga dengan puasa nafilah (النافلة). Puasa sunnah mendapat pahala apabila dilakukan, tapi tidak berdosa apabila ditinggalkan.
Adapun puasa-puasa yang disunnahkan menurut ijma' (kesepakatan) ulama ada 9 (sembilan), yaitu:
1. Puasa Daud. Yaitu puasa sehari dan berbuka sehari.
2. Puasa 3 hari setiap bulan. Yang utama pada tanggal 13, 14, dan 15. Yang disebut dengan ayyamul biydh (أيام البيض).
3. Puasa Senin Kamis setiap minggu.
4. Puasa 6 hari setelah hari Raya Idul Fitri (bulan Syawal). Walau terpisah-pisah. Tapi berturut-turut lebih utama, kecuali menurut madzhab Maliki.
5. Puasa pada hari Arafah, tanggal 9 Dzulhijjah, kecuali bagi yang sddang ibadah haji.
6. Puada tanggal 8 Dzulhijjah bagi jemaah haji dan yang lain.
7. Puasa hari tasu'a (يوم التاسوعاء) dan 'asyura' (يوم العاشوراء) yaitu hari ke-9 dan ke-10 bulan Muharram.
8. Puasa pada bulan-bulan yang mulia (أَشْهُرُ الحُرُم). Ada 4 bulan mulia dalam Islam, yaitu Dzul Qo'dah, Dzul Hijjah, Muharram, dan Rajab.
9. Puasa bulan Sya'ban.
I.C. PUASA MAKRUH
Makruh adalah perbuatan yang apabila ditinggalkan mendapat pahala sedang apabila dikerjakan tidak berdosa. Intinya, perbuatan yang sebaiknya ditinggalkan.
Puasa yang makruh ada 3 (tiga) sebagai berikut:
1. Puasa pada hari Jum'at. Kecuali apabila kelanjutan dari puasa pada hari sebelumnya.
2. Puasa pada hari Sabtu dan Minggu. Kecuali kelanjutan dari hari sebelumnya.
3. Puasanya orang yang (a) sakit; (b) musafir; (c) orang hamil; (d) ibu menyusui; (e) orang tua apabila dikuatirkan membahayakan kesehatannya.
I.D. PUASA HARAM
Haram sudah jelas maknanya. Yaitu, berdosa apabila dilakukan. Puasa yang diharamkan ada 4 (empat), yaitu:
1. Istri puasa sunnah tanpa sepengetahuan dari suami, atau suami tahu tapi tidak mengijinkan. Kecuali, apabila suami sedang tidak membutuhkan seperti suami sedang bepergian, sedang haji atau umroh.
2. Puasa pada hari syak atau meragukan (يَوْمُ الشَك). Yaitu, hari ke-30 dari bulan Sya'ban, kecuali apabila bertujuan sebagai puasa qadha (mengganti puasa Ramadhan sebelumnya), puasa sunnah, puasa melanggar sumpah (puasa kafarah).
3. Puasa pada hari Raya Idul Fitri atau Idul Adha. Mutlak tanpa kecuali.
4. Puasa pada hari tasyriq yaitu hari ke-11, ke-12 dan ke-13 bulan Dzulhijjah. Keuali untuk dam (sebagai ganti dari menyembelih qurban).
5. Puasa wanita haid atau nifas (baru mehirkan). Haramnya mutlak tanpa kecuali.
I.E. PUASA MUBAH
Mubah adalah perbuatan yang dibolehkan. Melakukan atau meninggalkan sama-sama tidak berpahala atau berdosa.
Puasa mubah adalah setiap puasa yang tidak termasuk ke dalam kategori wajib, haram, sunnah dan makruh di atas.
I.A. PUASA WAJIB
1. Yaitu puasa pada bulan Ramadhan. Hukumnya wajib bagi semua orang muslim yang sudah baligh, tidak gila, tidak haid dan tidak nifas (habis melahirkan).
Puasa Ramadan adalah salah satu rukun Islam yang lima. Pertama turunnya wahyu yang mewajibkan puasa Ramadan adalah pada tanggal 10 Sya'ban tahun kedua hijrah. Nabi berpuasa Ramadan selama 9 kali dalam 9 tahun.
Karena puasa Ramadan merupakan salah satu kewajiban utama, maka seorang muslim yang menganggapnya tidak wajib hukumnya murtad dan kafir. Kecuali kalau dia bertaubat. Sedang bagi yang tidak berpuasa karena malas, dianggap fasik. Bukan kafir.
2. Puasa karena membayar kafarah (denda). Seperti puasa 3 hari setelah melanggar sumpah atas nama Allah.
3. Puasa nadzar. Orang yang bernadzar akan berpuasa apabila tujuannya tercapai, maka ia wajib berpuasa apabila yang diinginkannya terkabul.
I.B. PUASA SUNNAH
Yaitu puasa yang dilakukan untuk beribadah kepada Allah selain puasa wajib. Puasa sunnah disebut juga dengan puasa nafilah (النافلة). Puasa sunnah mendapat pahala apabila dilakukan, tapi tidak berdosa apabila ditinggalkan.
Adapun puasa-puasa yang disunnahkan menurut ijma' (kesepakatan) ulama ada 9 (sembilan), yaitu:
1. Puasa Daud. Yaitu puasa sehari dan berbuka sehari.
2. Puasa 3 hari setiap bulan. Yang utama pada tanggal 13, 14, dan 15. Yang disebut dengan ayyamul biydh (أيام البيض).
3. Puasa Senin Kamis setiap minggu.
4. Puasa 6 hari setelah hari Raya Idul Fitri (bulan Syawal). Walau terpisah-pisah. Tapi berturut-turut lebih utama, kecuali menurut madzhab Maliki.
5. Puasa pada hari Arafah, tanggal 9 Dzulhijjah, kecuali bagi yang sddang ibadah haji.
6. Puada tanggal 8 Dzulhijjah bagi jemaah haji dan yang lain.
7. Puasa hari tasu'a (يوم التاسوعاء) dan 'asyura' (يوم العاشوراء) yaitu hari ke-9 dan ke-10 bulan Muharram.
8. Puasa pada bulan-bulan yang mulia (أَشْهُرُ الحُرُم). Ada 4 bulan mulia dalam Islam, yaitu Dzul Qo'dah, Dzul Hijjah, Muharram, dan Rajab.
9. Puasa bulan Sya'ban.
I.C. PUASA MAKRUH
Makruh adalah perbuatan yang apabila ditinggalkan mendapat pahala sedang apabila dikerjakan tidak berdosa. Intinya, perbuatan yang sebaiknya ditinggalkan.
Puasa yang makruh ada 3 (tiga) sebagai berikut:
1. Puasa pada hari Jum'at. Kecuali apabila kelanjutan dari puasa pada hari sebelumnya.
2. Puasa pada hari Sabtu dan Minggu. Kecuali kelanjutan dari hari sebelumnya.
3. Puasanya orang yang (a) sakit; (b) musafir; (c) orang hamil; (d) ibu menyusui; (e) orang tua apabila dikuatirkan membahayakan kesehatannya.
I.D. PUASA HARAM
Haram sudah jelas maknanya. Yaitu, berdosa apabila dilakukan. Puasa yang diharamkan ada 4 (empat), yaitu:
1. Istri puasa sunnah tanpa sepengetahuan dari suami, atau suami tahu tapi tidak mengijinkan. Kecuali, apabila suami sedang tidak membutuhkan seperti suami sedang bepergian, sedang haji atau umroh.
2. Puasa pada hari syak atau meragukan (يَوْمُ الشَك). Yaitu, hari ke-30 dari bulan Sya'ban, kecuali apabila bertujuan sebagai puasa qadha (mengganti puasa Ramadhan sebelumnya), puasa sunnah, puasa melanggar sumpah (puasa kafarah).
3. Puasa pada hari Raya Idul Fitri atau Idul Adha. Mutlak tanpa kecuali.
4. Puasa pada hari tasyriq yaitu hari ke-11, ke-12 dan ke-13 bulan Dzulhijjah. Keuali untuk dam (sebagai ganti dari menyembelih qurban).
5. Puasa wanita haid atau nifas (baru mehirkan). Haramnya mutlak tanpa kecuali.
I.E. PUASA MUBAH
Mubah adalah perbuatan yang dibolehkan. Melakukan atau meninggalkan sama-sama tidak berpahala atau berdosa.
Puasa mubah adalah setiap puasa yang tidak termasuk ke dalam kategori wajib, haram, sunnah dan makruh di atas.
Puasa ialah menahan diri dari makan dan minum serta melakukan
perkara-perkara yang boleh membatalkan puasa mulai dari terbit fajar sehingga
terbenamnya matahari.
Hukum Puasa
Hukum puasa terbahagi kepada tiga iaitu :
- Wajib – Puasa pada bulan
Ramadhan.
- Sunat – Puasa pada hari-hari
tertentu.
- Haram – Puasa pada hari-hari
yang dilarang berpuasa.
Syarat Wajib Puasa
- Beragama Islam
- Baligh (telah mencapai umur
dewasa)
- Berakal
- Berupaya untuk mengerjakannya.
- Sihat
- Tidak musafir
Rukun Puasa
- Niat mengerjakan puasa pada
tiap-tiap malam di bulan Ramadhan(puasa wajib) atau hari yang hendak
berpuasa (puasa sunat). Waktu berniat adalah mulai daripada terbenamnya
matahari sehingga terbit fajar.
- Meninggalkan sesuatu yang
membatalkan puasa mulai terbit fajar sehingga masuk matahari.
Syarat Sah Puasa
- Beragama Islam
- Berakal
- Tidak dalam haid, nifas dan
wiladah (melahirkan anak) bagi kaum wanita
- Hari yang sah berpuasa.
Sunat Berpuasa
- Bersahur walaupun sedikit
makanan atau minuman
- Melambatkan bersahur
- Meninggalkan perkataan atau
perbuatan keji
- Segera berbuka setelah masuknya
waktu berbuka
- Mendahulukan berbuka daripada
sembahyang Maghrib
- Berbuka dengan buah tamar, jika
tidak ada dengan air
- Membaca doa berbuka puasa
Perkara Makruh Ketika Berpuasa
- Selalu berkumur-kumur
- Merasa makanan dengan lidah
- Berbekam kecuali perlu
- Mengulum sesuatu
Hal yang membatalkan Puasa
- Memasukkan sesuatu ke dalam
rongga badan
- Muntah dengan sengaja
- Bersetubuh atau mengeluarkan
mani dengan sengaja
- kedatangan haid atau nifas
- Melahirkan anak atau keguguran
- Gila walaupun sekejap
- Mabuk ataupun pengsan sepanjang
hari
- Murtad atau keluar daripada
agama Islam
Hari yang Disunatkan Berpuasa
- Hari Senin dan Kamis
- Hari putih (setiap 13, 14, dan
15 hari dalam bulan Islam)
- Hari Arafah (9 Zulhijjah) bagi
orang yang tidak mengerjakan haji
- Enam hari dalam bulan Syawal
Hari yang diharamkan Berpuasa
- Hari raya Idul Fitri (1 Syawal)
- Hari raya Idul Adha (10
Zulhijjah)
- Hari syak (29 Syaaban)
- Hari Tasrik (11, 12, dan 13
Zulhijjah)
Puasa merupakan salah satu ibadah yang
sangat mulia dan disyariatkan dalam Islam. Dan setiap ibadah itu, tentu saja
mengandung hikmah dan tujuan. Shalat misalnya, tujuannya adalah mencegah
perbuatan keji dan mungkar. (QS al-Ankabuut ayat 45).
Demikian pula dengan puasa, tujuannya secara tegas dijelaskan dalam Alquran surah Al-Baqarah [2]: 183 adalah untuk membentuk pribadi Muslim yang bertakwa kepada Allah. Yakni, mengerjakan semua perintah Allah, dan menjauhi semua yang dilarang Allah.
Berkaitan dengan hal ini, Rasul SAW menegaskan bahwa sesungguhnya puasa itu ada tiga tingkatan. Yakni, puasanya orang awam, puasa khawas, dan puasanya khawasul khawas. Puasanya orang awam (umum) adalah sekadar menahan haus dan lapar dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari.
Sedangkan puasanya orang khawas adalah menahan makan dan minum serta semua perbuatan yang membatalkannya. Misalnya mulutnya ikut berpuasa dengan tidak berkata kotor, mencaci, mengumpat, atau mencela orang lain. Demikian juga dengan tangan dan kakinya, dipergunakan untuk perbuatan yang baik dan terpuji.
Sementara telinganya hanya dipergunakan untuk mendengarkan hal-hal yang baik. Puasa khawas ini adalah puasanya orang yang alim dan fakih.
Adapun puasanya khawasul khawas adalah tidak hanya sekadar menahan makan dan minum serta hal-hal yang membatalkannya, termasuk menahan seluruh anggota pancaindera, tetapi hatinya juga ikut berpuasa. Menurut para ulama, inilah jenis puasanya para Nabi dan Rasul Allah. Puasa yang demikian itulah yang akan diberikan oleh Allah secara langsung.
''Sesungguhnya seluruh amal anak Adam itu untuk diri mereka sendiri, kecuali puasa. Puasa itu untuk-Ku, dan Akulah yang akan membalasnya.'' (Hadis Qudsi).
Puasa yang mampu mencegah dirinya dari perbuatan keji dan munkar inilah yang mampu membentuk pribadi Muslim yang bertakwa, sebagaimana penjelasan QS Al-Baqarah [2] ayat 183 di atas.
Ahli Tafsir terkemuka, Muhammad Ali a-Sabuni mengatakan, ibadah puasa memiliki tujuan yang sangat besar. Pertama, puasa menjadi sarana pendidikan bagi manusia agar tetap bertakwa kepada Allah SWT.
Kedua, puasa merupakan media pendidikan bagi jiwa untuk tetap bersabar dan tahan dari segala penderitaan dalam menempuh dan melaksanakan perintah Allah SWT.
Ketiga, puasa menjadi sarana untuk menumbuhkan rasa kasih saying dan persaudaraan terhadap orang lain, sehingga tumbuh rasa empati untuk menolong sesame yang membutuhkan. Keempat menanamkan rasa takwa kepada Allah SWT.
Selain memiliki tujuan spiritual, juga mengandung manfaat dan hikmah bagi kehidupan. Misalnya, puasa itu menyehatkan baik secara fisik maupun psikis (kejiwaan). Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan standar kesehatan yang meliputi empat dimensi, yaitu sehat fisik, psikis, sosial, dan spiritual.
Ibadah puasa dapat memenuhi semua dimensi standar kesehatan yang ditetapkan oleh WHO itu. Bahkan, Dokter Alexis Carrel (1873-1944) yang pernah meraih hadiah Nobel dua kali menyatakan, Apabila pengabdian, shalat, puasa, dan doa yang tulus kepada Sang Maha Pencipta disingkirkan dari tengah kehidupan bermasyarakat, itu artinya kita telah menandatangani kontrak bagi kehancuran masyarakat tersebut.
Ahmad Syarifuddin dalam Puasa Menuju Sehat Fisik dan Psikis, mengungkapkan, rumusan kesehatan psikis yang ditetapkan WHO ini bisa dipenuhi dengan puasa yang dilakukan secara baik. Dalam beberapa hal puasa bahkan memiliki keunggulan dan nilai lebih. Secara kejiwaan, sikap takwa sebagai buah puasa, mendorong manusia mampu berkarakter ketuhanan (rabbani).
Demikian pula dengan puasa, tujuannya secara tegas dijelaskan dalam Alquran surah Al-Baqarah [2]: 183 adalah untuk membentuk pribadi Muslim yang bertakwa kepada Allah. Yakni, mengerjakan semua perintah Allah, dan menjauhi semua yang dilarang Allah.
Berkaitan dengan hal ini, Rasul SAW menegaskan bahwa sesungguhnya puasa itu ada tiga tingkatan. Yakni, puasanya orang awam, puasa khawas, dan puasanya khawasul khawas. Puasanya orang awam (umum) adalah sekadar menahan haus dan lapar dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari.
Sedangkan puasanya orang khawas adalah menahan makan dan minum serta semua perbuatan yang membatalkannya. Misalnya mulutnya ikut berpuasa dengan tidak berkata kotor, mencaci, mengumpat, atau mencela orang lain. Demikian juga dengan tangan dan kakinya, dipergunakan untuk perbuatan yang baik dan terpuji.
Sementara telinganya hanya dipergunakan untuk mendengarkan hal-hal yang baik. Puasa khawas ini adalah puasanya orang yang alim dan fakih.
Adapun puasanya khawasul khawas adalah tidak hanya sekadar menahan makan dan minum serta hal-hal yang membatalkannya, termasuk menahan seluruh anggota pancaindera, tetapi hatinya juga ikut berpuasa. Menurut para ulama, inilah jenis puasanya para Nabi dan Rasul Allah. Puasa yang demikian itulah yang akan diberikan oleh Allah secara langsung.
''Sesungguhnya seluruh amal anak Adam itu untuk diri mereka sendiri, kecuali puasa. Puasa itu untuk-Ku, dan Akulah yang akan membalasnya.'' (Hadis Qudsi).
Puasa yang mampu mencegah dirinya dari perbuatan keji dan munkar inilah yang mampu membentuk pribadi Muslim yang bertakwa, sebagaimana penjelasan QS Al-Baqarah [2] ayat 183 di atas.
Ahli Tafsir terkemuka, Muhammad Ali a-Sabuni mengatakan, ibadah puasa memiliki tujuan yang sangat besar. Pertama, puasa menjadi sarana pendidikan bagi manusia agar tetap bertakwa kepada Allah SWT.
Kedua, puasa merupakan media pendidikan bagi jiwa untuk tetap bersabar dan tahan dari segala penderitaan dalam menempuh dan melaksanakan perintah Allah SWT.
Ketiga, puasa menjadi sarana untuk menumbuhkan rasa kasih saying dan persaudaraan terhadap orang lain, sehingga tumbuh rasa empati untuk menolong sesame yang membutuhkan. Keempat menanamkan rasa takwa kepada Allah SWT.
Selain memiliki tujuan spiritual, juga mengandung manfaat dan hikmah bagi kehidupan. Misalnya, puasa itu menyehatkan baik secara fisik maupun psikis (kejiwaan). Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan standar kesehatan yang meliputi empat dimensi, yaitu sehat fisik, psikis, sosial, dan spiritual.
Ibadah puasa dapat memenuhi semua dimensi standar kesehatan yang ditetapkan oleh WHO itu. Bahkan, Dokter Alexis Carrel (1873-1944) yang pernah meraih hadiah Nobel dua kali menyatakan, Apabila pengabdian, shalat, puasa, dan doa yang tulus kepada Sang Maha Pencipta disingkirkan dari tengah kehidupan bermasyarakat, itu artinya kita telah menandatangani kontrak bagi kehancuran masyarakat tersebut.
Ahmad Syarifuddin dalam Puasa Menuju Sehat Fisik dan Psikis, mengungkapkan, rumusan kesehatan psikis yang ditetapkan WHO ini bisa dipenuhi dengan puasa yang dilakukan secara baik. Dalam beberapa hal puasa bahkan memiliki keunggulan dan nilai lebih. Secara kejiwaan, sikap takwa sebagai buah puasa, mendorong manusia mampu berkarakter ketuhanan (rabbani).
Daftar pustaka
http://www.alkhoirot.net/2011/12/hukum-puasa-dalam-islam.html
http://www.scribd.com/doc/61107502/makalah-puasa
Tiga Cara Mengingat Mati!
Minggu, 2 Juni 2013
Oleh: Ali Akbar bin Agil
INGAT mati termasuk salah satu akhlak terpuji dan perilaku luhur lagi mulia. Bagaimana tidak, mengingat kematian bukan sekadar ingat dan tidak lupa, namun lebih dari itu mengingat kematian berarti mempersiapkan bekal sebelum ajal datang.Diriwayatkan dari Kumail bin Yizad, bahwa ia keluar dengan Ali Abi Thalib radhiyallahu`anhu (ra.). Dalam perjalanan itu Ali menoleh ke kuburan lalu berkata, “Wahai penghuni tempat yang menyeramkan, wahai penghuni tempat penuh bala`, bagaimana kabar kalian saat ini? Maukah kalian kuberitahu kabar dari kami: harta-harta kalian telah dibagi-bagi, anak-anak kalian telah menjadi yatim, dan istri kalian telah dinikahi oleh orang lain. Kini, maukah kalian memberi tahu tentang kabar yang kalian miliki?”
Kemudian Ali menoleh pada Kumail dan berkata, “Wahai Kumail, seandainya mereka diizinkan menjawab mereka akan mengatakan, ‘Sebaik-baik bekal adalah takwa.’
Ali menangis. Lantas, kembali berkata, “Wahai Kumail, kuburan itu adalah kotak amal, dan di kala kematian, kabar dari isi kotak amal itu akan menghampirimu.” (Al Hasan bin Bisyr Al-Aamidiy, Kanzul `Ummaal, Juz III, hal.697, Maktabah Syamilah).
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dun-ya dengan sanad dari Anas bin Malik, Rasulullah Shallahu `alaihi wa sallam (SAW) bersabda: “Perbanyaklah mengingat kematian, sebab ia mampu membersihkan dosa-dosa, dan menjauhkan diri dari kesenangan duniawi.”
Rasulullah SAW pernah ditanya oleh para sahabat tentang siapa “orang-orang yang beruntung.” Maka Rasul menjawab, “Orang yang paling banyak ingat mati, paling baik dalam persiapan menyambut kematian. Merekalah orang-orang yang beruntung, dimana mereka pergi (meninggal) dengan membawa kemuliaan di dunia dan akhirat.” (HR. Ibnu Majah (4259)
Sehebat apapun seseorang, segesit bagaimanapun ia berlari, tidak ada yang bisa lepas dari jaring kematian. Di manapun, kapanpun, dan dalam keadaan bagaimanapun, kematian itu pasti akan datang menyergap, baik dalam keadaan kita siap atau tidak, baik dalam keadaan baik atau buruk, kematian adalah suatu kepastian.
Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa ta`la (SWT) berfirman,
“Katakanlah: “Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka Sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu.” (QS. Al-Jumu`ah [62]: 08)
Cara Mengingat Mati
Ada banyak cara dan kiat untuk membuat kita selalu ingat mati. Beberapa di antaranya:
Pertama, berusaha sekuat tenang untuk mengingat kematian yang menimpa orang lain, entah itu saudara, keluarga, atau siapa saja di antara manusia yang telah mendahului kita. Misalnya, saat kita berjalan kemudian berpapasan dengan rombongan yang memanggul keranda jenazah, di saat itulah kita berusaha mengingat kematian.
Atau saat tetangga kanan-kiri kita ada yang meninggal, kita juga berusaha mengingat kematian dengan mengatakan dalam diri kita, “Hari ini tetanggaku telah meninggal, mungkin esok, lusa, atau beberapa hari lagi aku yang akan dipanggil oleh Allah SWT.”
Hal demikian jika kita lakukan dengan sungguh-sungguh, akan membuat kita terhindar dari pembicaraan yang tidak berguna kala bertakziah kepada keluaraga yang ditinggal mati kerabatnya seperti yang sering kita perhatikan atau bahkan kita sendiri melakukannya.
Padahal Rasul pernah menegur beberapa orang yang berbicara tanpa guna. Beliau mengatakan, “Andaikata kalian banyak mengingat ‘pemotong kenikmatan’ niscaya kalian tidak banyak berbicara seperti ini, perbanyaklah mengingat ‘pemotong kenikmatan’. (HR. Turmudzi (2648))
Kedua, setelah kita mengingat kematian itu sendiri, cobalah kita membayangkan bagaimana sepi dan sunyinya alam kubur itu, tidak ada yang menemani di hari-hari yang dilalui. Suami atau istri yang paling cinta sekalipun tidak ada yang sanggup menemani jika kita telah wafat, terkubur dalam tumpukan debu dan tanah.
Diceritakan dari Abu Bakar Al-Isma`ili dengan sanandnya dari Usman bin Affan, bahwa apabila mendengar cerita neraka, ia tidak menangis. Bila mendengar cerita kiamat, ia tidak menangis. Namun, apabila mendengar cerita kubur, ia menangis.
“Mengapa demikian, wahai Amirul Mukminin,” tanya seseorang kepada beliau. Usman menjawab, “Apabila aku berada di neraka, aku tinggal bersama orang lain, pada hari kiamat aku bersama orang lain, namun bila aku berada di kubur, aku hanya seorang diri.” (Syeikh Muhammad bin Abu Bakar Al-`Ushfuri, Syarh Al-Mawaa`idz Al-`Ushfuuriyyah, Jakarta: Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, hal. 28)
Kesendirian dan sepi senyapnya alam kubur dapat berubah menjadi kebahagiaan atau kesengsaraan, tergantung amal kita selama hidup di dunia. Kuburan dapat menjadi lumbung kebahagiaan atau menjadi sumber siksa dan sengsara. “Kubur itu bisa merupakan salah satu kebun surga atau salah satu parit neraka,” sabda Nabi SAW. (HR. Turmudzi (2460))
Ketiga, termasuk hal sangat dianjurkan dalam upaya kita mengingat mati adalah berziarah ke kubur. Ziara kubur merupakah perkara yang disunnahkan dan sangat direkomendasikan oleh rasul.
Lewat kegiatan ziarah, kita mengambil pelajaran dan hikmah tentang keadaan alam kubur, dan apa yang terjadi di dalamnya, serta kehidupan yang akan dilewati usai dari alam kubur nantinya.
Dalam sebuah hadits, nabi berpesan, “Aku pernah melarang kalian untuk berziarah kubur, namun sekarang berziaralah sebab ia dapat mengingatkan akan kehidupan akhirat dan menjauhi kemewahan dunia.” (HR. Muslim (977))
Saat ini, musibah terjadi di mana-mana setiap saat. Sementara di sisi lain, banyak manusia tidak sadar bahwa detak jantung, denyut nadi mereka bisa saja berhentik berdetak sewaktu-waktu. Entah karena tabrakan, karena kecelakaan, karena banjir, tsunami atau bahkanya saat mereka sedang bersendau gurau dengan sana-keluarga. Sesungguhnya kematian merupakan langkah yang sudah pasti, kita hanyalah menunggu gilirannya.
Dan ketika nyawa telah dicabut – bahkan ketika kita sedang bergembira sekalipun— apa yang telah kita siapkan untuk menghadap Nya?
Penulis adalah pengajar di Pesantren Darut Tauhid, Malang
Sumber :
Rep: Administrator
Red: Cholis Akbar
http://www.hidayatullah.com
Langganan:
Postingan (Atom)